#fiction #flash fiction

Kedipan Mata Sederhana

Wajahnya begitu polos.  Sepertinya dia sama sekali tidak mengenakan riasan wajah. Aku rasa begitu. Rambutnya pun tergerai tanpa takut terkena debu. Sederhana. Mungkin itu satu kata yang menggambarkan manusia yang satu itu. Tidak ada lagi keraguanku untuk mengatakannya.

Setiap hari, sekitar pukul dua siang, aku menemuinya di sebuah halte dekat perumahan tempat tinggalku. Aku pun jadi senang untuk naik bus karena ada alasan untuk bertemu dengannya. Di sebuah halte bus yang sederhana. Meskipun aku punya sepeda motor untuk aku tunggangi atau kendarai kalau kau lebih suka menyebutnya begitu. Namun apalah arti naik motor bila tidak bisa bertemu dengan gadis sederhana yang membuatku penasaran.

Aku sadar kalau aku jatuh cinta dengan sederhana.

Berhari-hari aku mengumpulkan keberanian untuk menyapanya. Namun apa lah dayaku. Aku selalu gemetar menggagu saat hendak mengucap kata “Hai.” Sebuah kata sapa sederhana yang tak lagi sederhana untuk mengucapkannya. Aku memang penakut. Nyaliku sering ciut. Panggil aku pengecut.

Hingga pada suatu hari, dia mengedipkan matanya. Sebuah kedipan mata yang sederhana. Aku sempat terheran-heran. Namun dia lagi-lagi mengedipkan matanya. Aku pun mulai tersenyum sambil membalas kedipan matanya dan mendekatkan diriku kepadanya. Namun dia malah menamparku dan pergi. Ternyata dia hanya kelilipan.

Aku sempat sedih dan menangis tujuh hari tujuh malam. Hingga akhirnya aku pun berpikir kalau mungkin dia bukan jodohku. Sesederhana itu.

SURAT UNTUK IBU

vintage-bedroom-ideas copy

 

Ibu,

Aku tak tahu apakah mengirim surat ini adalah tindakan yang bisa dibenarkan, Setelah kepergianku yang tak bisa Ibu cegah saat itu. Mungkin dimata Ibu, aku adalah anak yang durhaka pada orang tua, karena tak mau mendengarkan nasihat yang Ibu berikan.

Ibu pasti sangat kecewa, anak semata wayangnya ini memilih untuk meninggalkan keraton dan memulai hidup di negeri orang tanpa sepengetahuan Ibu sebelumnya. Meninggalkan Ibu dalam keterkejutan dan penjelasan seadanya. Maaf Ibu, jika aku memberi tahu Ibu lebih dulu, pasti aku akan meragu. Ibu pasti tak mengijinkan, kemudian Ibu akan menjelaskan sederet kecemasan yang menurutku tak beralasan. Selanjutnya Ibu pasti tahu apa yang akan terjadi. Kita mulai beradu mau dan saling berseteru. Aku tak ingin ini terjadi.

Melalui surat ini aku ingin Ibu tahu bahwa aku baik-baik saja di sini, Rania juga ingin minta maaf atas segala pemberontakan yang telah Rania lakukan terhadap Ibu. Aku sama sekali tak berniat untuk menyakiti hati Ibu atau melawan titah Ibu. Ketahuilah bahwa putri semata wayangmu ini teramat mencintaimu. Tak ada sedikitpun terbesit keinginan untuk membuat Ibu sedih atau menangis.

Aku ingin sedikit bercerita pada Ibu, karena aku tahu jika kita membicarakan ini pasti kita hanya akan saling bersitegang, tak ada yang mau saling mendengarkan.

Semua berawal sejak Ibu mulai bersikap otoriter dan membatasi segala akses hidupku. Disinilah awal pemberontakanku dimulai. Pemberontakanku pada diri sendiri sekaligus kepada Ibu. Setelah delapan tahun aku hidup dibawah titah Ibu, aku mulai lelah. Tahukah ibu bahwa sejak itu aku merasa kehilangan rumah. Dirimulah satu-satunya alasan mengapa aku selalu ingin pulang. Pulang ke rumah yang kau bangun dengan hangatnya cinta dan tulusnya kasih. Tetapi semua kehangatan itu mulai lenyap tergantikan oleh sikap otoriter Ibu yang tak pernah memberiku pilihan. Aku merasa menjadi boneka bagi Ibu. Ibu seperti berusaha menghilangkan “aku” dalam diriku sendiri. Ini sungguh menyakitkan bagiku, Ibu.

Aku ingin jalanku sendiri. Aku ingin membangun hidupku sesuai dengan impianku. Menapak jalan hidup yang tak terduga dan penuh kejutan. Jalan yang terkadang mulus, berkerikil, bahkan berlubang, tak jarang pula aku akan terjatuh, dan harus bangkit lagi meneruskan perjalanan. Meskipun aku seorang anak, tetapi aku tetaplah seorang individu yang memiliki esensi sebagai manusia seutuhnya.

Sebenarnya karena alasan inilah aku memutuskan untuk pergi tanpa sepengetahuan Ibu. Aku ingin mencari rumahku sendiri. Rumah yang akan membentukku menjadi wanita yang tangguh. Bukan rumah yang penuh dengan kekangan dan larangan. Dan disinilah aku sekarang, Swiss. Negara yang menghadirkan rumah yang kuharapkan. Mungkin jika Ibu tahu akan begidik melihat kondisi tempat tinggalku yang kecil, tak seluas rumah kita. Tetapi justru ditempat inilah aku selalu memiliki alasan untuk kembali pulang. Di sini aku memiliki murid-murid yang tak pernah alpha menyambut kehadiranku saat pagi di depan gerbang sekolah. Setiap sore diakhir pekan selalu ada Café yang menunggu untuk kukunjungi. Di hari minggu ada sebuah taman yang tak sabar dilukiskan keindahannya dengan kuas dan catku. Di sinilah rumahku sekarang, tempatku bertualang, tempatku menemukan siapa aku tanpa baying-bayang Ibu.

Ibu… aku hanya ingin Ibu belajar melepaskan aku. Ijinkan aku menjadi menjadi Rania seutuhnya. Rania tanpa bayang-bayang masa lalu Ibu, Biarkan aku tumbuh secara alami. Aku tahu ini pasti berat bagi Ibu, tapi percayalah ini jalan terbaik yang harus kita tempuh. Jika aku tak melakukan ini, kita akan terus saling berseteru.

Ijinkan kita belajar saling jujur pada perasaan masing-masing, tak ada lagi topeng. Meski tak selamanya terlihat indah. Tapi inilah sarana bagi Ibu dan Rania untuk belajar menghubungkan hati.

Hanya ini yang ingin aku sampaikan pada Ibu, semoga bisa membuat Ibu lebih tenang dan Ibu juga berkenan membuka sedikit saja pintu hati untuk Rania. Terima kasih sedalam-dalamnya untuk semua petuah dan prinsip yang pernah Ibu ajarkan dan juga cinta kasih yang tak pernah habis Ibu berikan untuk putri semata wayangmu ini.

 

Peluk cium,

Rania

 

2’06’14 – rumah, 07.00 pm